BANDA ACEH - Delapan calon pilot asal Aceh yang semestinya sudah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Penerbangan Integrated Training dan Services (IT dan S) Ipoh, Malaysia, terpaksa pulang kampung sebelum menjadi pilot. Mereka yang dibiayai Pemerintah Aceh itu sudah sembilan bulan terhenti latihan, karena ban pesawat untuk latihan sedang rusak.
Informasi itu diperoleh dari sumber-sumber Serambi di Banda Aceh tiga hari lalu. Muharrir, seorang di antara delapan anak Aceh yang ikut pendidikan di IT dan S Ipoh itu, ketika dikonfirmasi Serambi kemarin, membenarkannya.
“Ya, sudah mulai vakum latihan sejak Maret 2011. Alasan pihak kampus karena ban pesawat latihan kami rusak. Benar, dalam perjanjian dengan Pemerintah Aceh, masa pendidikan kami di sana 18 bulan terhitung sejak Agustus 2009-April 2011,” sebut Muharrir.
Menurutnya, sesuai aturan, mereka hanya empat bulan belajar teori di kampus itu. Selanjutnya latihan terbang. Tapi sejak Januari dan Februari 2011, latihan sudah mulai macet, hanya dua kali, bahkan sekali dalam sebulan.
“Idealnya, minimal tiga kali latihan terbang dalam sebulan. Alasannya target jam terbang selama pendidikan lebih kurang 150 jam, tapi yang saya lakukan baru 37 jam. Itu pun jam terbang saya sudah lebih banyak dibandingkan kawan lainnya,” ujar Muharrir.
Menurutnya, sejak vakum latihan Maret 2011, ia bersama dua rekannya, Nofailin Afra dan Juliman, pernah dipanggil ke sana untuk kembali ikut latihan terbang. “Tapi sesampai di sana ternyata tidak jadi, karena pesawatnya masih rusak,” ungkap Muharrir.
Ditanya apakah mahasiswa lain di kampus itu juga tidak latihan, Muharrir menyatakan, mahasiswa lain di kampus itu tetap latihan. “Ya, itu mungkin karena sejak awal latihan kami anak Aceh tidak digabung dengan mahasiswa lainnya,” kata Muharrir.
Mewakili teman-temannya senasib, Muharrir berharap segera ada solusi terhadap persoalan ini. Ia mengaku bahwa saat ini sedang dilakukan pembicaraan oleh Pemerintah Aceh dengan perusahaan IT dan S Ipoh, Malaysia, untuk mencarikan solusi terhadap masalah yang dihadapi delapan calon pilot asal Aceh itu. (sal)
Informasi itu diperoleh dari sumber-sumber Serambi di Banda Aceh tiga hari lalu. Muharrir, seorang di antara delapan anak Aceh yang ikut pendidikan di IT dan S Ipoh itu, ketika dikonfirmasi Serambi kemarin, membenarkannya.
“Ya, sudah mulai vakum latihan sejak Maret 2011. Alasan pihak kampus karena ban pesawat latihan kami rusak. Benar, dalam perjanjian dengan Pemerintah Aceh, masa pendidikan kami di sana 18 bulan terhitung sejak Agustus 2009-April 2011,” sebut Muharrir.
Menurutnya, sesuai aturan, mereka hanya empat bulan belajar teori di kampus itu. Selanjutnya latihan terbang. Tapi sejak Januari dan Februari 2011, latihan sudah mulai macet, hanya dua kali, bahkan sekali dalam sebulan.
“Idealnya, minimal tiga kali latihan terbang dalam sebulan. Alasannya target jam terbang selama pendidikan lebih kurang 150 jam, tapi yang saya lakukan baru 37 jam. Itu pun jam terbang saya sudah lebih banyak dibandingkan kawan lainnya,” ujar Muharrir.
Menurutnya, sejak vakum latihan Maret 2011, ia bersama dua rekannya, Nofailin Afra dan Juliman, pernah dipanggil ke sana untuk kembali ikut latihan terbang. “Tapi sesampai di sana ternyata tidak jadi, karena pesawatnya masih rusak,” ungkap Muharrir.
Ditanya apakah mahasiswa lain di kampus itu juga tidak latihan, Muharrir menyatakan, mahasiswa lain di kampus itu tetap latihan. “Ya, itu mungkin karena sejak awal latihan kami anak Aceh tidak digabung dengan mahasiswa lainnya,” kata Muharrir.
Mewakili teman-temannya senasib, Muharrir berharap segera ada solusi terhadap persoalan ini. Ia mengaku bahwa saat ini sedang dilakukan pembicaraan oleh Pemerintah Aceh dengan perusahaan IT dan S Ipoh, Malaysia, untuk mencarikan solusi terhadap masalah yang dihadapi delapan calon pilot asal Aceh itu. (sal)
Editor : bakri
0 komentar:
Posting Komentar